4 November, Bukti Orang Bodoh dan Pengangguran Masih Banyak
Penulis : Alifurrahman
Melihat banyaknya jumlah pendemo 4 November kemarin, saya menyimpulkan bahwa ini adalah tanda betapa banyaknya rakyat yang bodoh dan dibodoh-bodohi oleh segelintir orang yang memiliki kepentingan politik: legserkan Jokowi.
Mengapa saya berkesimpulan bahwa pendemo itu bodoh? Karena mereka dipastikan tidak paham dan terprovokasi oleh video potongan Buni Yani, yang kemudian diberi tambahan kalimat provokatif. Pernah saya bahas di: http://ift.tt/2fe2jfR
Sebab begini, Ahok mengatakan kalimat yang dianggap menista agama itu di kepulauan seribu. Saat acara berlangsung, semua orang tertawa-tawa. Tapi karena dipotong oleh Buni Yani, kemudian banyak orang tersinggung dan kemudian sepakat dengan pertanyaan Buni Yani, bahwa Ahok telah menistakan agama.
Logikanya, mereka yang hadir saat Ahok sosialisasi program Pemprov DKI tidak tersinggung atau marah, tapi kemudian orang di luar kepulauan seribu bahkan luar Jakarta yang marah dan menyimpulkan bahwa Ahok menista agama. Ini kan jadi mirip seperti buruh mendemo soal Tax Amnesty, padahal mereka bukan Wajib Pajak. Lucu kan?
Selain itu, sekalipun mau dibahas, pernyataan Ahok yang dipermasalakan adalah "dibohongi pakai surat almaidah 51" kemudian diubah menjadi "dibohongi surat alamidah 51" oleh Buni Yani. Keduanya memiliki arti berbeda. Sama seperti kalimat makan sendok atau makan pakai sendok. Beda kan? Bahwa kemudian ada yang berpikir sama saja, tetap menista agama, karena kemudian menganggap Almaidah bisa dijadikan alat membohongi. Mereka berpikir tidak bisa Almaidah dijadikan alat membohongi, sebab Alquran itu suci dan sebagainya.
Mereka yang beranggapan seperti itu, pun bisa disebut bodoh. Sebab Alquran bisa dijadikan alat untuk membodoh-bodohi. Teroris dan ISIS menggunakan Alquran untuk membodoh-bodohi orang, mereka membunuh orang atas nama Tuhan dan Quran. Pun sebelumnya sudah saya bahas di: http://ift.tt/2etggIm
Kalau kemudian ada orang yang tetap ngotot bahwa Ahok salah karena mendadak menyinggung SARA, pun mereka dari kalangan orang bodoh. Sebab mereka tidak tau apa yang terjadi dan menjadi penyebabnya. Seminggu sebelum Ahok menyatakan itu, HTI melakukan demonstrasi besar-besaran menolak pemimpin kafir dengan alasan Almaidah 51. Jadi kalau kemudian Ahok mengatakan "jangan percaya orang, kan bisa aja dalam hati bapak ibu merasa tidak bisa pilih Ahok nih, karena dibohongi pake Almaidah 51," maka yang dimaksud Ahok adalah HTI dan orang-orang yang demo menolak Ahok karena kafir.
Tapi semua kronologis dan faktor-faktor ini pasti tidak dipahami oleh para pendemo. Mereka hanya tau Ahok katanya menista agama. Itu saja. Dari katanya ke katanya tanpa pernah mau tau bagaimana ucapannya, bagaimana video lengkapnya, apalagi kronologisnya, pasti tidak tau. Sebab kalau tau, mengikuti semuanya dari awal sampai akhir, maka PASTI mereka tidak akan marah-marah. Bahka mereka akan tertawa seperti warga kepulauan seribu.
Di luar soal kronologis dan faktor penyebabnya, satu hal yang juga dapat dipastikan para pendemo itu bodoh, karena mereka menuntut Presiden menangkap Ahok saat itu juga. Padahal hukum di Indonesia tidak memberikan wewenang pada Presiden untuk menangkap seseorang. Mereka tidak paham hukum.
Selain itu, sejak Indonesia merdeka, tidak ada produk hukum yang langsung memenjarakan orang yang dianggap melecehkan agama. Katakanlah Ahok nantinya kalah di pengadilan dan terbukti memang melecehkan agama, Ahok tetap tidak bisa dipenjara. Mengapa? Karena yang diutamakan adalah menegur dan memaafkan, sesuai adat Indonesia. Bahasan detail soal hukum sudah pernah saya tulis di: http://ift.tt/2fmJO87
Sampai di sini, seharusnya pembaca seword yang pintar dan pandai bisa sependapat bahwa mayoritas demonstran kemarin memang orang-orang bodoh atau membodoh-bodohi. Tapi mereka-mereka ini masih sedikit yang bisa sadar, sebab terlanjur bodoh, lihat saja bamyak demonstran yang kemudian tidak bisa pulang karena kehabisan uang atau mungkin tak dibauar oleh penyelenggara sesuai yang dijanjikan. Beruntung pemerintah masih mau menanggungnya.
Pengangguran dan tidak profesional
Sebagai warga biasa, saya agak kaget dengan begitu banyaknya orang yang datang untuk berdemo. Sebagian mereka dapat dipastikan adalah pengangguran atau belum bekerja. Jikapun bekerja atau punya usaha, maka dipastikan bukan dari kalangan profesional.
Logikanya, mereka yang bekerja di sebuah perusahaan, memiliki posisi dan gaji yang baik, tak akan pernah turun ke jalan hanya karena alasan seratus dua ratus ribu yang dibagi-bagikan oleh para pimpinan demonstran. Lagipula, hari Jumat adalah hari kerja. Kalau mereka berdemo dan datang sejak subuh, artinya mereka tidak bekerja. Kalau bekerja pun, pasti wiraswasta di bawah UMR atau freelance yang job nya kadang ada kadang tidak.
Sehingga saat ada peluang diberi 100 atau 200 ribu saja dalam sehari, akomodasi bus dan makan ditanggung penyelenggara, mereka akan berbondong-bondong ikut. Kenapa? Karena kalau kerja seharian pun mereka tak dapat 100 ribu, kan mendingan demo!
Tak peduli paham apa tidak, yang penting mereka mendapat uang. Jarang-jarang mereka bisa dapat 100 ribu dalam sehari. Kalau kemudian ada kesempatan, sekalian wisata ke Monas dan Istiqlal, tak ada alasan untuk menolaknya.
Demo kemarin bukan lagi sebatas tuduhan penistaan agama atau penegakan hukum. Sudah lebih dari itu, ini soal mental manja dari warisan pemerintah sebelumnya yang banyak memberikan subsidi.
Saya jadi teringat dengan perkataan seorang konsultan politik muda, Dimas Oky Nugroho. 5 bulan yang lalu kami sempat bertemu dalam sebuah diskusi informal.
Salah satu materi yang paling tidak saya setujui dari Mas Dimas adalah soal kritiknya pada Jokowi yang memotong semua anggaran subsidi tanpa kecuali. Mulai dari BBM sampai BLT. Saya ingat betul Mas Dimas sepat bilang gini:
"Jokowi boleh menyiapkan infrastruktur sebanyak-banyaknya, agar ekonomi kuat dan berjalan cepat. Tapi apakah rakyat bisa menunggu infrastruktur tersebut selesai? Sebagian pasti tidak bisa.
Kadang ada hal-hal yang perlu dilakukan, sekalipun itu memperlambat perbaikan neeri ini, asal dampak negatifnya lebih kecil."
Saat itu saya mendebat, tidak setuju. Sebab kalau mau mengikuti cara lama, negara ini tak akan ke mana-mana. Akan sama persis seperti 10 tahun yang lalu. Tetap tertinggal dari negara lain.
Tapi belakangan, melihat banyaknya peserta demo, saya mulai menyadari bahwa jumlah orang yang bisa dibayar dengan 100 atau 200 ribu ternyata cukup banyak. Mereka bisa diajak dan digerakkan untuk turun ke jalan. Kalau kemudian ditambah 1000 orang saja dengan bayaran 1 juta perorang agar melalukan provokasi serta melawan polisi, itu hanya 1 milyar rupiah. Kemudian bayarlah 10 orang pimpnan demo senilai 1 milyar paket komplit, baru 10 milyar. Thats not a big deal! Murah sekali kalau kemudian ini bisa jadi strategi melengserkan Presiden dan merebut kekuasaan, untuk mengelola APBN senilai ribuan triliun hanya perlu keluarkan sekian puluh milyar rupiah.
Saya kembali teringat obrolan dengan Mas Dimas Oky Nugroho "Kadang ada hal-hal yang perlu dilakukan, sekalipun itu memperlambat perbaikan negeri ini, asal dampak negatifnya lebih kecil."
Saya mulai sadar betapa cerdasnya SBY dalam mempertahankan kekuasaan selama 10 tahun, sebab begitu gencar berikan subsidi berupa BLT dan subsidi BBM. Sehingga semua merata. Kalangan menengah atas bisa menikmati subsidi BBM, kalangan bawah nyaman dengan harga murah dan uang jajan tiap semester dari pemerintah. Tak peduli uangnya dari pinjaman luar negeri dan infrastruktur tidak dibangun, SBY tetap bisa santai membuat album dan menulis buku, tak perlu ngapa-ngapain sebagai Presiden, yang penting uang masuk kantong, rakyat tenang dan koruptor juga tenang.
Berbanding terbalik dengan Presiden Jokowi. Subsidi BBM dihapus dan dialihkan ke pembangunan infrastruktur. BLT juga dihapus karena alasan tidak tepat sasaran dan manja, dialihkan ke subsidi pendidikan dan kesehatan. Koruptor-koruptor tak tersentuh di jaman SBY, sekarang hampir semuanya diperkarakan. Bahkan dokumen TPF pembunuhan Munir juga diminta lagi. Pajak yang selama puluhan tahun tak pernah rapi dan diurus, sekarang ada tax amnesty. Tak tanggung-tanggung, 4.500 triliun deklarasi dan sekitar 70 triliun fresh money masuk ke Indonesia for free.
Benar-benar revolusi mental. Tapi ini menjadikan Presiden Jokowi mendapat banyak musuh. Dari kalangan bawah sampai atas. Menjadi buruk sekali kalau kemudian ada kalangan atas yang merasa sangat terganggu dan ingin melengserkan Jokowi. 100 milyar sudah terlalu cukup untuk membayar massa dan pimpinannya. Sehingga terjadilah demo besar-besaran 4 November dengan alasan penistaan agama, padahal mau melengserkan Jokowi.
Entah bagaimana caranya Jokowi memperbaiki kondisi ini, kadang saya ingin mendengar beliau bercerita lagi secara tertutup, agar saya tau apa yang sedang beliau hadapi saat ini dan sangat bermimpi bisa membantunya. Andai Mas Dimas, saya dan Jokowi bisa duduk sambil ngopi, pasti akan terjadi diskusi yang sangat menarik terkait politik.
Masih banyak yang mau saya bahas, tapi mungkin ini dulu. Nanti bersambung ke tulisan selanjutnya. Terakhir, semoga Allah melindungi Presiden Jokowi dari setan-setan berdaster yang kerap berteriak "Allahuakbar."
Selengkapnya :
http://ift.tt/2frlbL5